Si Manis Yang Membaca Buku " full versi "



SI MANIS YANG MEMBACA BUKU
" Awal jumpa "
Siapa dia?
si manis yang sedang membaca buku
berkerudung merah jambu, dengan sepatu bergambar kupu-kupu
siapa dia ?
si manis yang sedang membaca buku
di sudut ruang yang hening
sudah setengah jam tiada bergeming
lembar demi lembar dan masih hening
siapa dia ?
Si manis yang sedang membaca buku
entah mengapa bola mataku selalu tertuju ke arahnya, seolah ada medan magnet yang begitu besar
siapa dia ?
Si manis yang sedang membaca buku
Hatiku terus bertanya, apakah dia makhluk dari bumi?
Siapa dia ?
Si manis yang sedang membaca buku
masih di sudut ruang yang hening
dia telah hilangkan hasrat membacaku karena pancaran rona jingga wajahnya
menelisik relung sukmaku
siapa dia ?
Si manis yang sedang membaca buku
ingin sekali ku menyapanya
mendekati dirinya
siapa dia ?
Si manis yang sedang membaca buku
hati ini luluh lantak ketika melihatnya mulai bergerak, menaruh bukunya di ujung rak dan pergi entah kemana tanpa bisa ku tebak
siapa dia ?
Si manis yang sedang membaca buku
aku hanya bisa terdiam dengan menggenggam rasa sesal, tak bisa ku lihat lagi dia yang ingin ku kenal.


" Pencarian "
Tiga hari berlalu dari hari senin hingga rabu, selalu ku teringat pada si manis berkerudung merah jambu dan bersepatu gambar kupu-kupu, ya si manis yang membaca buku di perpustakaan sekolahku.

Masih sangat ku ingat setiap gerak lembutnya membuka lembar demi lembar buku yang sedang dia baca, hingga tiada sadar bahwa aku memperhatikannya, mengamati setiap gerak jarinya dan gerakan bola matanya yang begitu indah.
Rasa penasaran ini begitu besar hingga menggangu logikaku untuk bernalar, dan sepertinya aku sedang jatuh cinta pada pandangan pertama.

 Setiap malam aku lalui dengan angan- angan kita bisa berjumpa lagi dan berkenalan, setiap pagi dia menjadi bayangan dari mentari fajar yang menyambut hariku. Setiap hari ku tanyakan kepada orang yang ku kenal di sekolah tentang dirinya, setiap pagi ku lewati setiap kelas dan ku lihat lewat jendelanya, berharap kutemukan lagi sosok dirinya.

Aku selalu menunggu di gerbang ketika jam pulang sekolah hingga orang terakhir melangkah keluar namun tak pernah ku temukan dirinya dan aku tidak putus asa, karena ku yakin serta percaya bahwa dia pasti ada.

Di suatu siang tepat pukul satu di saat pentas seni sekolahku, Ujung bola mataku terpaku pada seorang yang sedang duduk di bawah pohon jambu, berkerudung biru dan tetap dengan sepatu bergambar kupu-kupu. Di antara keramaian siswa yang bergembira merayakan kelulusan mereka.
Aku lihat dia hanya diam dengan sesekali tangannya memperbaiki kerudungnya. Dalam hati ku berdegup kencang dan kaki ini begitu gemetar seketika itupun hilang nyaliku karena memandang dirinya, sejenak terbesit tanya di hati ini mengapa aku jadi begini?
Bola mataku tak pernah lepas memandang dirinya takut kehilangannya lagi. Ketika keberanianku tumbuh tiba-tiba Edo menepuk pundakku dan menarik tanganku untuk berpogo ria menikmati alunan musik SKA yang memang sedang digandrungi anak-anak seusia kami. Edo adalah teman sekelas di kelas dua, berambut kribo bertubuh cungkring berkacamata minus tiga.
Edo orang yang humoris dan pandai bermain gitar serta pandai pelajaran matematika, seringkali aku mencontek pelajaran darinya. Aaach!!! sudah dulu membicara kan si Edo, akupun ikut berjoget di tengah lapangan namun tak kulepas pandangan ke arah wanita cantik yang masih duduk di bawah pohon jambu. Sambil berjoget ku tanya kepada Edo, apakah ia mengenalinya? Edo juga tidak mengenalnya dan juga tidak pernah melihat sebelumnya.
Iseng tapi sengaja aku pura-pura jatuh di hadapan gadis itu, kamipun saling bertemu mata untuk sesaat. Ooooohh!!!! begitu indah tatapan matanya laksana bulan purnama sempurna di malam hari, bertambah besar saja rasa cinta ini kepadanya.
Ku nikmati momen indah saat saling berpandangan dengannya, hidungnya yang mungil dengan bibir tipis yang manis , seakan tak ingin ku lepas mata ini terus memandangnya. Siaaaalll!!!! Edo menarik tanganku lagi untuk kembali ke tengah arena pogo, hilang sudah momen-momen indah itu namun akan menjadi salah satu kenangan terindah untukku. Dalam hati berkata aku akan kenalan dengan gadis pujaanku setelah kuselesaikan berjoget melewati satu lagu ini.

" perkenalan dan pernyataan"
Musik terhenti dan sang biduanpun berhenti bernyanyi, tiada lagi ku dengar kebisingan alunan melodi, yang kudengar hanya detak jantungku yang memburu karena gerak pogo yang terlalu ditambah rasa penasaran untuk bisa berkenalan pada dia perempuan manis di bawah pohon jambu.
Dengan memantapkan niat hati, dirinya ku hampiri, panggilan Edo tak ku peduli hanya gadis itu yang terpenting saat ini. Sedikit basa basi aku perkenalkan diriku dan ku tanya namanya, ternyata si manis itu bernama Dinda. Ooooooooh!!! Betapa lembut suaranya ketika dia menyebut namanya, bagaikan alunan senandung dari surgawi.
Dinda ternyata bukan salah satu siswi di sekolahku, Dinda adalah  anak pertama dari ibu Sari yang berjualan di kantin sekolahku. Aku hanya tertegun dan melamun indah mendengarkan lembut suara dan manis senyumannya, seakan mengusap kepalaku manja dan membawaku bermimpi.
Dinda sudah kuliah di salah satu universitas negeri ternama di Jakarta jurusan Bimbingan Konseling semester kedua. Agak sedikit minder dan malu karena ternyata Dinda lebih tua dariku, namun kupikir ini bukan soal usia, bukan soal siapa lebih muda dan siapa yang lebih tua, namun ini semua tentang cinta.
Hilang rasa penasaran dalam dada namun tumbuh rasa cinta yang begitu besar dalam jiwa, langsung saja kunyatakan bahwa ku telah jatuh cinta padanya semenjak awal berjumpa dengannya di perpustakaan sekolah.
Dinda diam tanpa berkata atau mungkin tak percaya bertemu aku yang sedang gila asmara. Aku tak menyerah,  seraya merajut benang kata menjadi untaian doa agar Tuhan menyatukan cinta kami berdua.
Semenit berlalu bagai seminggu ketika aku menunggu jawaban darinya, dan kulihat Dinda hanya diam membisu tanpa memandangku dan hanya menunduk melihat sepatunya yang bergambar kupu-kupu.
Ku lapangkan dadaku lebar-lebar dan memperluas rasa sabar hingga sampai nanti jawaban darinya ku dengar, walaupun mungkin jawabannya membuat jantungku berhenti berdebar.
Tiba-tiba suara guntur menggelegar dan petirpun saling menyambar. Para siswapun bubar tak beraturan, karena masing-masing mencari perlindungan dari derasnya hujan. sebentar saja aku lengah, Dinda sudah menghilang tiada lagi duduk di sampingku.
Aku masih belum beranjak dari dudukku walau hujan telah membasahi tubuhku, hati dan pikiran ini masih bingung dan jiwa ini merasa terpasung. Tak tahu kapan bisa berjumpa lagi, dan entah sampai kapan ku menanti sebuah jawaban yang kuharapkan.
Waktu terus berjalan dengan begitu perlahan, terus mengiringiku dalam penantian akan sebuah jawaban. Terkadang aku seperti di tepian akhir sebuah harapan yang memaksaku tuk coba melupakan dirinya yang ku dambakan.
Namun aroma nafas tubuhnya selalu membayangiku, lembut suaranya seolah telah merasuki relung sukmaku. Namanya selalu hadir dalam setiap doaku, namanya adalah penyemangat dalam setiap langkahku. Tidak pernah ku menyerah, walaupun aku harus mencari dirinya hingga raga ini berkalang tanah.
 Sore itu dikala langit memerah warnanya, sebuah kabar ku terima. Aku lolos kuliah di universitas negeri di Yogyakarta.
 Di Yogyakarta aku dilahirkan dan memulai cerita, menuntut ilmu demi cita-cita. Di fakultas ilmu sosial aku belajar dengan semangat yang terus berkobar.
 Namun satu hal masih saja mengusik ingatan, ingatan tentang dirinya yang bernama Dinda. "Ooh Dinda di manakah kau berada?"
 Sebelas bulan berlalu, bayang wajah Dinda ibarat sembilu yang menyayat nadiku namun yakin kita pasti bertemu.
 Dinding kamar ku jadikan kawan bercerita, menumpahkan semua keluh kesah dan semua curahan rindu. Jendela kecil dan sebuah bangku kayu di pojok ruang kamar adalah tempatku memandang sendunya rembulan malam dengan cahayanya yang temaram seolah menggantikan wajah Dinda sang gadis idaman.


"tragedi demonstrasi"
 Pemuda pemudi Indonesia sedang tergugah hati, karena kondisi bumi pertiwi. PHK banyak terjadi, harga-harga melambung tinggi karena negara dilanda krisis ekonomi buah dari para pemimpin negeri yang mementingkan diri sendiri, hidup foya-foya dan budaya korupsi demi melampiaskan nafsu duniawi.
 Kami para mahasiswa terus bergerak serentak, langkah kaki berderap menghentak seiring dengan hati yang berontak demi kehidupan rakyat agar lebih layak.
 Semburan air dari mobil water canon menerpa tubuh kami, letusan gas air mata tak bisa menghalangi, pukulan tongkat polisi tak menghilangkan semangat juang kami. Perbaikan ekonomi menjadi fokus tuntutan kami, meski hilang nyawa kami tak peduli.
 Langit Jakarta menjadi kelam, sekujur tubuh biru lebam namun semangat juang tak kunjung padam. Hari itu menjadi sejarah kelam, karena di antara kami banyak yang hilang.
 Tiga hari  semua kekacauan itu berlalu, aku dan beberapa rekan mahasiswa terbelenggu, terkurung dalam ruang sempit bercat abu-abu. Kami ditahan karena dianggap telah mengganggu keamanan dan ketertiban, semuanya hanya alasan sang pecundang yang takut kehilangan jabatan. Minggu jam dua belas malam kami dilepaskan setelah seminggu tertahan tanpa adanya pembelaan, aku kini sendirian di jalanan.
Aku teringat Edo teman sekolahku yang kuliah dan tinggal di Jakarta. Ku langkahkan kaki menuju rumahnya, aku menyusuri jalanan Jakarta yang tak pernah sepi. Tiba di rumah Edo langsung pintunya ku ketuk dengan perlahan, karena ku sadar ini sudah lewat tengah malam yang bisa saja membuat orang lain salah paham.
Tak lama berselang pintu rumahpun terbuka, ku lihat seorang lelaki tua berkacamata dengan wajah penuh tanya memandang diriku dari atas ke bawah.
 Setelah beberapa saat kami berdua saling diam tanpa kata, akupun memperkenalkan diri kepadanya bahwa aku adalah teman Edo sewaktu sekolah dulu. Akupun dipersilahkan masuk ke dalam rumah oleh lelaki tua itu yang ternyata ayahnya Edo.
 Akupun mempertanyakan keberadaan Edo, seketika itu aku lihat mata ayah Edo berkaca kaca, bibirnya gemetar berbicara dengan nada berat dan nafas tersenggal seraya bercerita bahwa Edo menjadi salah satu korban tragedi demonstrasi. Edo meninggal terkena peluru, aku hanya membisu, lidahku kelu, nafas ini sesak bagai dada ini tertimpa batu.
 Aku meminta ijin kepada ayah Edo untuk masuk ke kamar Edo, di dalam kamar aku duduk di ranjang yang sudah tidak ada kasurnya. Kupandangi satu persatu bingkai foto yang terpajang di dinding sambil ku ingat lagi semua kenangan indahku bersama Edo.

 Dengan air mata yang perlahan turun ke pipi, pandangan mataku tertuju pada sebuah foto yang terpajang di sudut meja belajar. Ku lihat foto Edo bersama seseorang yang sepertinya ku kenal, di bawah foto tertulis namaku yang di tulis dengan tinta berwarna merah.
 Aku pandangi gambar foto itu dengan tangan gemetar dan hati berdebar, di belakang bingkai tertulis sebuah kalimat yang tak dapat ku percaya "ku jaga dia demi sobat karibku!!!" dengan sebuah nomor telepon di bawahnya.
 Ku rebahkan tubuh ini di peraduan almarhum sahabatku, ku pejamkam mata ini mencoba tuk mengenangkan semua kenangan indah tentang sahabatku, tentang mimpi-mimpi dan harapan masa depan kehidupan yang harus kandas karena peluru panas petugas yang ganas.
 Ku ingat  Segala mimpi dan cita-citanya yang pernah diceritakan kepadaku. Ingatan tentang Edo begitu jelas menghantui kepalaku, tak bisa hilang dan pasti tak pernah bisa terlupakan.
 Ku genggam erat gambar dirinya dan berharap ia bisa kembali di dunia ini. Aku rasa kehilangan yang begitu besar karena Edo adalah sahabatku yang paling pengertian.
 Kini seorang sahabat sejati telah pergi, kemana akan ku cari pelipur lara hati ini, tiada terganti dia yang telah gugur. Khayalanku semakin dalam hingga membawa terlelap, cerita tentang Edo menjadi dongeng yang indah sebagai pengantar tidurku malam ini.
 Tabuh berbunyi hempaskan malam sunyi, berkumandanglah suara azan di langit kota Jakarta. Aku melangkah ke mushola kecil di sebelah rumah Edo untuk sholat subuh, ku bangun keikhlasan dalam hati dari hilangnya kawan sejati. Panjatkan doa kepada yang Maha Kuasa mohon agar Edo di tempatkan surga.
 Ketika mentari meninggi hari aku pamit untuk kembali ke Jogyakarta, aku pamit ke ayah Edo yang sedang menyiram mawar di depan rumah, sekaligus aku mohon ijin agar diperbolehkan membawa foto Edo bersama seorang wanita yang di bawahnya tertulis namaku serta di belakangnya terdapat nomor telepon. Ayah Edo mengijinkan aku membawanya, langsung saja foto itu kusimpan dalam tas kecilku.
 Aku menuju ke stasiun kereta Pasar Senen untuk naik kereta menuju Yogjakarta, di dalam kereta ku buka kembali tas kecil dan kulihat dalam-dalam foto yang kubawa, menerawang jauh melayang penuh tanya dan menduga sebuah cerita foto itu. Dalam hati bertanya "bagaimana bisa Edo foto berdua dengan Dinda?". Ya Dinda, gadis yang selama ini aku dambakan dan aku impikan. Dan apa maksud dari tulisan namaku di foto itu serta nomor telepon siapa yang tertulis pada foto.
 Aku simpan kembali foto itu ke dalam tasku, tatapan ku kosong dipenuhi lamunan dan pertanyaan tentang sang gadis idaman.
 Bising suara mesin kereta yang menderu, decitan roda kereta, serta riuhnya para pedagang yang menjajakan dagangannya menjadi alunan nada pengantar tidurku dalam kereta. Sesekali ku terbangun karena guncangan yang membenturkan kepalaku ke jendela, sambil kupastikan tasku masih ada dalam dekapanku khawatir ada tangan-tangan panjang yang memang suka berkeliaran dalam kereta mencari mangsa.
 Sesekali pengemis dan pengamen membangunkan dengan paksa, agar aku memberikan sedikit uang yang aku punya. Tidak kuhiraukan mereka semua karena memang uangku sendiri hanya cukup untuk makan esok hari dan ongkos naik becak.
 Kereta berhenti di stasiun Lempuyangan, sebuah stasiun kecil yang tidak begitu ramai, Aku turun dengan langkah gontai karena menahan rasa lapar semalaman. Aku arahkan langkah kakiku menuju rumah makan sederhana agar aku bisa menenangkan lambungku yang terus berontak seolah berteriak agar segera diisi. Lahap kumakan nasi dan orek tempe, nikmat air teh hangat menghapus lapar dan dahagaku.
Selesai makan, kupanggil seorang kakek tua berbaju kuning bergambar pohon beringin untuk mengantarkanku kembali ke rumah dengan becak karatannya.
 Pukul 10.00 aku tiba di rumah, tiada yang menyambutku, tidak ada yang menanyakan bagaimana keadaanku, ya tidak akan pernah ada suasana seperti itu karena memang aku tinggal di rumah sendiri saja tanpa orangtua semenjak SMA.
 Yang aku lihat tatapan mata para tetangga yang memandangku seperti bertanya " darimanakah anda hai tuan muda?". Aku tinggal di pemukiman padat di pinggiran kota Jogyakarta, rumahku berukuran hanya empat kali enam meter saja dan letaknya di ujung gang kecil yang sempit.
 Orangtuaku meninggal karena kecelakaan sepeda motor ketika hendak ke pasar. Sejak itulah aku mengurus diriku sendiri. Aku adalah tunggal dari pasangan suami istri yang bernama renggo dan sarmi.
 Bapakku adalah seorang pegawai kantor pos yang bertugas mengantarkan surat di sekitaran kota Jogya, sedangkan ibuku adalah seorang penjual ayam potong di pasar. Aku berjualan ayam potong dibekas lapak ibuku, pagi aku berjualan dan siang aku sekolah.
 Aku tidak terlalu pusing akan biaya sekolahku, karena biaya sekolahku sudah ditanggung oleh kantor pos tempat almarhum bapakku bekerja.
 Aku adalah salah satu siswa yang berprestasi di sekolah, aku selalu menempati ranking 3 teratas di kelas hingga kelas 3.
 Karena kehidupan yang seperti itu, menyebabkan wajahku lebih tua dari usiaku sendiri. Tapi aku tak pernah surut semangat dalam menghadapi sulitnya hidup tanpa orangtua.
 Aku adalah Bagus Pratama, sering dipanggil Bagus. Aku adalah seorang yang pendiam karena aku malas untuk membicarakan hal yang tidak penting, bagiku lebih baik aku membaca buku ataupun mendengarkan musik kesukaanku.

 Karena hobiku membaca, aku sering sekali ke perpustakaan sekolah setiap waktu istirahat. Rambutku ikal namun sering kucukur botak karena malas mengurus rambut, badanku gemuk dengan tinggi badan 170 cm dan kulit coklat khas lelaki jawa


" Penembakan Misterius "
 Judul utama koran Yogyakarta pagi ini bertuliskan "Penembakan Misterius di Jakarta". Judul berita itu membuat aku teringat kembali kepada Edo sahabat karibku yang gugur tertembak sewaktu demo mahasiswa di Jakarta beberapa waktu yang lalu.
  Kubaca dengan seksama berita di koran itu. Diberitakan bahwa sudah seminggu ini telah ditemukan sedikitnya 8 orang mahasiswa yang meninggal secara misterius dengan ciri yang sama yaitu terdapat luka tembak di kepala dan di dada, dan lokasi kejadiannya di sekitar kampus tempat mahasiswa tersebut kuliah.
  Kondisi Jakarta kini kembali mencekam terutama di kampus-kampus di sekitaran Jakarta, para mahasiswa kuliah dalam keadaan penuh rasa khawatir dan ketakutan. Banyak mahasiswa yang berasal dari luar daerah kembali ke daerahnya masing-masing.
 Namun tidak sedikit pula para mahasiswa yang idealis terus melakukan demonstrasi yang ditujukan kepada pihak kepolisian agar segera mengungkap kasus kematian rekan-rekannya sesama mahasiswa.
 Ku lihat di televisi di setiap stasiun tv heboh menayangkan berita tentang penembakan misterius kepada mahasiswa di jakarta.
 Mengetahui berita ini, aku hubungi teman-teman mahasiswa di Yogyakarta untuk saling mengingatkan dan membuat rencana untuk melakukan demonstrasi di pusat pemerintahan, berharap kasus ini cepat selesai dan kami para mahasiswa kembali tenang berkuliah.
 Begitu pelik keadaan negeri ini, sembako mahal, BBM langka, banyak rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan, ditambah lagi hidup di dalam tekanan dan ketakutan yang amat sangat.
 Belum selesai kejadian ini terungkap, sebuah peristiwa besar kembali terjadi di Jakarta, sebuah kerusuhan dan pembakaran besar-besaran terjadi pada toko-toko dan perumahan-perumahan mewah serta penjarahan di hampir seluruh wilayah Jakarta.
 Aku hanya bisa mengelus dada mendengar berita itu, dalam hati hanya berdoa dan berharap ini semua cepat selesai dan masyarakat bisa hidup dalam kesejahteraan dan kedamaian.

" rindu dirinya "
Melupakan sejenak kalutnya hati ini, akupun mengingat kembali Dinda yang yang telah membuatku jatuh hati. Aku putuskan untuk kembali ke Jakarta lagi, bukan untuk berdemonstrasi namun untuk mencoba bisa bertemu kembali dengan pujaan hati.
Ku kemasi barang-barangku tak lupa pula aku bawa foto yang tertulis namaku dan sebuah nomor telepon di balik foto itu. Di stasiun kereta sewaktu menunggu kereta, ku sempatkan ke wartel untuk menghubungi nomor telepon tersebut.
Betapa kagetnya aku  ketika telepon terhubung dan mendengar suara seseorang di balik telepon itu, bahagia, bingung dan rasa penasaran campur aduk dalam dada. Ternyata orang yang menerima teleponku adalah Dinda. Bahagia karena aku bisa mendengar kembali suara wanita yang aku rindukan, bingung kenapa nomor itu adalah nomor telepon Dinda dan penasaran ada hubungan apa antara almarhum sahabatku Edo dan wanita pujaanku Dinda.
Ketika kutanyakan mengenai hal itu, Dinda menyuruhku untuk menemuinya di salah satu SMA di Jakarta Utara, ternyata Dinda telah menjadi seorang guru BK di sekolah tersebut. Dinda juga memberi tahu alamat sekolah tersebut, dan berjanji akan menjelaskan semua hal mengenai cerita di balik foto Edo bersama dirinya.

Rinduku sedikit terobati karena telah mendengar suara merdu bidadari surgawi dan itu menjadi pemupuk rasa cintaku padanya, namun ada rasa penasaran kenapa Dinda tidak bercerita tentang foto itu, malah menyuruhku datang ke Jakarta untuk mendengarkan ceritanya.
Tidak lama kemudian kereta tujuan Jakarta tiba, aku segera meninggalkan wartel setelah membayar biaya teleponku tadi, langsung menuju gerbong nomor tiga yang menjadi nomor gerbongku sesuai yang tertulis pada tiket.
Malam itu 24 November 1998, aku menginjakkan kakiku kembali di ibukota. Bukan untuk berdemo ataupun berunjuk rasa, tetapi aku kembali ke Jakarta demi memperjuangkan cinta yang lama terpendam. Aku rela berjalan dalam nestapa demi cintaku pada Dinda.
 Sebelum aku bertemu Dinda, ku teringat bahwa esok adalah hari guru nasional. Terbesit dalam pikiranku untuk menyiapkan kado istimewa untuk Dinda yang juga seorang guru sekaligus untuk merayakan pertemuan dengan sang dambaan hati.
 Tak sabar hati ini menunggu waktu yang seolah olah beģitu lamban, tak tahan lagi gejolak jiwa ingin bertemu dengan sang surya. Nyata sang purnama tak mau mengalah seakan tak ingin diganti oleh matahari. Jantung berdegub kencang, matapun sulit terpejam karena pikiran melayang membayangkan pertemuan dengan orang yang kusayang.

 Lamunanku terjaga oleh lantangnya sang muadzin yang mengumandangkan adzan subuh. Segera ku ambil wudhu dan melaksanakan sholat subuh di mushola stasiun Senen, dalam doa kusebut nama Dinda.
Matahari mulai tampak di ujung timur kota Jakarta, kubergegas meraih jaket dan tas ku. Lorong gang sempit ini terasa begitu panjang dan seakan tak ada ujungnya. Entah memang nyata atau hanya perasaanku saja yang sudah tak mau lagi menunggu.
Akhirnya sampai juga aku di ujung gang, langsung saja ku arahkan langkah kakiku menuju sebuah telepon umum dan ku telepon Dinda bahwa aku akan menemuinya hari ini di sekolahnya.
Dinda menjawab teleponku, dan ketika kembali ku mendengar suaranya, tenang hati ini dan seketika saja merasa segar dan perut ini telah kenyang padahal aku belum sarapan.
 Rasa cintaku pada Dinda memang telah membuatku gila dan lupa, atau memang karena ini adalah cinta pertama.
 Dinda memintaku untuk menemuinya ketika jam istirahat sekolah, di sebuah halte bus yang letak ada di depan sekolah tempatnya mengajar , aku mengiyakan permintaannya. Sebelum ku tutup teleponku tak lupa aku mengucapkan selamat hari guru kepadanya dan ia hanya membalasnya dengan jawaban terimakasih dengan nada yang datar.

 Sebelum aku menuju terminal bis, kusempatkan untuk mampir dulu ke toko bunga yang letak tidak jauh dari telepon umum. Ku beli seikat bunga lavender berwarna ungu, karena ku pikir memberi bunga mawar pada seorang wanita sudah biasa, aku hanya ingin mencoba berbeda dari biasanya.
 Dengan napas menderu, kulangkahkan kakiku dengan cepat setengah berlari agar aku cepat sampai ke terminal bis yang jaraknya sekitar dua ratus meter dari toko bunga.
 Sesekali ku lihat jam tanganku, aku tak ingin Dinda sampai menunggu karena keterlambatanku. Ku tambah kecepatan jalanku hingga akhirnya sampailah aku di terminal bis Senen, langsung saja ku cari metromini tujuan tanjung priok, karena Dinda mengajar di sebuah sekolah di Tanjung priok.
 Aku duduk di samping sopir, karena tak ingin halte sekolah yang kutuju terlewati olehku. Bis belum jalan karena menunggu terisi penuh oleh penumpang terlebih dahulu, suara serak kondektur terdengar lantang memanggil calon penumpang, dan deru mesin serta pengapnya udara di dalam bis menjadi penghias perjalananku hari ini.
 Kulihat jam tanganku serasa begitu cepat seakan tak ingin menunggu, lagi-lagi apakah ini nyata ataukah hanya perasaanku yang sedang dilanda rindu.



“ Kado Istimewa “
Bis kota melaju, diiringi dangdut melayu dari kaset tape mobil yang diputar oleh sang sopir bis yang tidak henti-hentinya menghisap rokoknya sambil berdendang malu-malu.
Suara kaset yang mengayun-ayun, entah memang tape mobilnya sudah tua atau kasetnya yang bajakan aku tak peduli, yang pasti sangat mengganggu ditambah lagi keluar masuknya pengamen hingga suaranya saling beradu dan begitu mengganggu.
Tapi tak ada yang lebih mengganggu jika dibandingkan bayang wajah Dinda yang sekian lama aku tak jumpa. Setelah sekian lama kurasakan panasnya neraka bis kota,akhirnya aku tiba di halte sekolah. Dengan sigap dan lantang ku berteriak " KIRI PIR KIRI !!!", sopir bis kaget serta merta menginjak pedal rem dalam-dalam hingga semua penumpang terkaget karena bis berhenti secara mendadak. " Woooyyy santai saja layy, kaget aku!!!".
Akupun bergegas turun tanpa menghiraukan apa yang dikatakan sang sopir dan para penumpang lain yang ikut kaget karena perbuatanku, dalam benakku hanya satu, yaitu bertemu Dinda.
Duduk gelisah menunggu, setelah sepuluh menit berlalu akhirnya yang ditunggu datang juga. Kulihat Dinda melangkah keluar dari gerbang sekolah. "Ooouuhhh itukah dia sang bidadari surga yang datang kepadaku???!!!" gumamku dalam hati, Dengan langkah anggun dibalut baju batik khas seragam guru Dinda menghampiriku.
Inginku berdiri namun kakiku tak mampu, badan ini terasa terpaku dan lidahpun kelu. Dinda duduk di sampingku aku hanya membisu, tubuh ini serasa membatu. Dinda memulai pembicaraan dengan menanyakan tentang keadaanku selama menjadi mahasiswa dan mengikuti aksi demo beberapa waktu yang lalu, tanpa ada jawaban dariku karena aku linglung teringat akan sebuah kado istimewa untuknya yaitu bunga lavender yang kubeli tadi di toko bunga sebelum berangkat ke terminal bis, dan kurasa tertinggal di dalam bis kota yang aku naiki tadi.
 "Sialaaaannn, kenapa bisa tertinggal???!!!" Umpatku dalam hati. Acchh, tapi aku tak menyesali dan memberanikan diri, kuucapkan selamat hari guru untuknya. Dan sudah itu saja kata-kata yang terlontar dari bibirku.
Bel sekolah berbunyi tanda waktu istirahat sudah selesai, kami masih di halte bis beberapa saat. Kulihat Dinda mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya, sebuah tasbih kecil berwarna hitam. Diberikannya tasbih hitam itu kepadaku, Dinda hanya berpesan kepadaku untuk menggunakannya sebaik mungkin lalu Dinda meninggalkanku di halte itu sendirian, dan Dindapun kembali ke Sekolah di seberang jalan.
Perlahan dirinya hilang ditelan gerbang, yang ditutup perlahan oleh seorang satpam. Aku lihat kembali tasbih hitam pemberian Dinda, akupun bertekad untuk menunggunya hingga pulang.
Awan seketika berubah menjadi hitam, mendung dan kelam hujanpun turun deras dan kejam, aku tetap bertahan demi menunggu untuk menanti sebuah jawaban dari pertanyaan yang belum sempat aku tanyakan.
" Drop Out "
Hujan belum reda, padahal hari sudah senja. Aku masih duduk di halte bis sekolah sendiri, hanya gemericik air hujan yang setia menemani, sekian lama aku tunggu Dinda tidak juga keluar dari sekolah itu.
 Dalam hati yang penuh tanya kulangkahkan kaki pergi entah kemana, karena akupun tak tahu di mana saat ini berada. Kuputuskan untuk menginap sementara di mushala sebuah pomp bensin tidak jauh dari sekolah, karena memang tekadku untuk kembali lagi esok ke sekolah itu agar bisa bertemu Dinda.
Pagi menjelang, perutku lapar karena baru sadar dari kemarin aku belum makan. Kuperiksa saku celanaku ternyata sisa uangku hanya tinggal lima ribu, dan tanpa pikir panjang aku makan di warteg pinggir jalan walau belum mandi dan gosok gigi.
Aku kembali ke halte bis depan sekolah untuk menunggu Dinda berharap bertemu dia pagi ini. Setelah satu jam menunggu tak juga ku bertemu, kuputuskan untuk bertanya kepada satpam sekolah untuk menanyakan Dinda.
Tiada kuduga ternyata Dinda sudah tidak mengajar lagi di sekolah itu, dan kemarin dia keluar sekolah lewat pintu belakang karena Dinda tinggal di rumah kost belakang sekolah. Langsung saja ku menuju tempat kostnya setelah diberitahu oleh satpam tersebut.
Semangat menggebu nafaspun berderu, namun kenyataan membuatku pilu karena kemarin Dinda juga sudah pindah dari kost itu.
Yang terjadi padaku saat ini adalah bingung tak berujung karena Dinda juga tak memberi informasi kemana dia pindah kepada pemilik kost. Dengan langkah gontai penuh sesal dan kecewa menyesakkan dada, dan aku tak tahu harus berbuat apa dan bertanya kepada siapa, juga harus pergi kemana.
Aku yang sedang jatuh cinta atau mungkin setengah gila, kini menjadi gelandangan di Jakarta. Hilang semangat ku untuk kembali ke Jogjakarta padahal aku masih berstatus mahasiswa.
Kulalui hari hari ku dengan pencarian, akupun kerja apa saja agar bisa ku dapat makan. Akupun mengamen dari bis ke bis juga dari kampung ke kampung, karena kupikir dengan cara inilah aku bisa menghidupi diri sambil mencari Dinda yang kucintai.
Tiga bulan berlalu belum juga aku bertemu, tapi aku yakin suatu saat nanti Dinda bisa ku temukan. Tak hiraukan lagi cita cita, dan tak hirau lagi setiap kata demi bisa bertemu dengan Dinda.
Hanya tasbih hitam pemberian Dinda yang kini kujadikan sebagai pengobat rindu. Meski telah lama tak akan berhenti aku menunggu karena Nomor teleponpun tiada guna karena ternyata hanya nomor telepon sekolah.
Dalam masa selama pencarianku, akupun tak lupa untuk jatuh cinta. Aku pikir Dinda hanya menjadi sebuah pertanyaan yang tak akan pernah ada jawaban.
Pikirku takut gila, atau memang aku sudah gila. Setiap terminal dan stasiun kereta aku pasti punya teman wanita, yang bisa membuatku tertawa walaupun dalam hati tetap berasa hampa.
Semua aku lakukan bukan sepenuhnya karena cinta, karena aku takut kecewa. Dari sekian banyak wanita, akhirnya kuputuskan untuk setia pada satu saja, karena aku sudah merasa lelah karena harus terus bersandiwara berusaha menjadi lelaki setia namun penuh dusta.
Dan memang tak dapat ku ingkari hatiku sudah terlalu cinta pada Dinda. Vera ! ya Vera namanya, gadis remaja yang beranjak dewasa karena baru saja lulus SMA. Asli anak Jakarta yang tinggal bersama orang tua kaya, karena ayahnya seorang pengusaha batubara.
Vera bisa dekat denganku karena aku menolongnya ketika Ia akan diperkosa oleh berandal kota tua. Memang tega tidak tega, Vera kini menjadi penyokong keuanganku kala aku malas bekerja.
Uang dari Vera hanya ku hamburkan untuk foya-foya dan narkoba, tapi aku tak mau kencan dengan wanita karena kupikir  kencan dengan sembarang wanita membawa penyakit raja singa, enaknya sebentar tapi sakitnya lama.

Hingga disuatu malam aku berpesta narkoba, polisi datang tiba-tiba, menggerebek dan akhirnya aku di penjara. Aku kira akan di penjara untuk waktu yang lama, tapi ternyata hanya semalam saja karena Vera mengeluarkan aku dengan mahar delapan puluh juta. Memang hukum sudah gila tak berdaya asalkan uang di depan mata.
Aku keluar penjara bersama Vera yang menemaniku malam ini dengan rasa kecewa. Lelaki yang dia percaya hanya seorang pecandu narkoba. Tapi entah apa yang merasukinya, Vera masih menjadi wanita yang setia, walaupun dia tahu hanya dijadikan pelarianku yang masih menjaga rasa cinta kepada Dinda.

" Angin yang Berbisik"
Jakarta 22 februari 2002, hari kamis tepat pukul satu. Terdengar suara menggelegar, dentuman keras dua benda yang saling beradu, memekakkan telinga hingga aku yang sedang tenggelam dalam mimpi, tertidur di pelataran istana bagi kaum jelata yaitu stasiun kereta, terbangun terhentak matapun melotot terbelalak.
Kereta malam dari Jawa menabrak sebuah taksi berwarna biru di ujung perlintasan kereta tepat di gerbang stasiun kereta. Kulihat banyak orang berhamburan berlari menuju tempat kejadian, akupun hanya melihatnya dari kejauhan saja.
Aku lihat dari sekerumunan orang itu, bermacam-macam niat dan tujuannya. Ada yang ingin melihat saja karena penasaran apa yang terjadi, ada yang berniat untuk menolong korban kecelakaan, dan ada niat para pengambil kesempatan untuk mengambil barang berharga dari orang yang terkena musibah.
Dari sekian banyak kerumunan orang, tiba-tiba saja mataku tertuju pada seseorang yang berdiri di depan toko sepatu. Seketika itu juga angin berbisik padaku bahwa itu adalah Dinda.
Dengan keyakinan yang teguh dan hati yang ikhlas penuh, langsung aku berlari menuju toko sepatu itu. Dan sekali lagi angin berbisik padaku agar aku lebih cepat lagi berlari.
Bisikan sang anginpun benar, ternyata wanita itu adalah si manis yang membaca buku waktu itu alias Dinda. Akupun menyapanya, Dinda menjawab sapaku, setiap tutur kata yang terucap darinya, adalah damai yang kurasakan, Akupun merasa pencarianku usai sudah.
Angin sepertinya ingin kembali berbisik kepadaku, tapi tidak jadi karena tidak lama kemudian datanglah seorang pria yang tidak lebih tampan dariku, datang menghampirinya dan bertanya pada Dinda tentang maksud dan tujuanku berbicara pada Dinda.
Gilaaaa!!! Dalam hatiku bersumpah serapah, betapa beruntungnya lelaki itu setelah perkenalan akhirnya ku tahu bahwa dia adalah suami Dinda. Sekian lama berbicara basa basi, angin lagi lagi berbisik padaku agar mengembalikan tasbih kecil berwarna hitam pemberian Dinda yang kujadikan sebagai gelang sekaligus untuk menyatakan rasa cinta yang kupendam selama masa pencarian.
Angin menambahkan bisikannya kepadaku, jika aku menyatakan cintaku di depan suaminya berharaplah mereka akan bertengkar. Akupun menuruti apa yang dikatakan sang angin yang berbisik kepadaku, kulepaskan tasbih dari tanganku, kunyatakan cintaku, sambil berharap bisikan angin benar dan berlaku.
Dinda menerima kembali tasbih hitam yang pernah dia berikan kepadaku, dan diapun menerima pernyataan cintaku dengan lapang dada. Dinda juga menyatakan juga sebenarnya sudah jatuh cinta padaku saat pertemuan kedua, namun memang bukan jodoh aku dan Dinda tak bisa bersama karena Dinda kini sudah menikah.
Dan ternyata suami Dinda juga sudah tahu semua ini akan terjadi, karena Dinda sudah menceritakannya. Seperti kambing conge di lapangan suami Dinda hanya diam di pojok toko sepatu yang telah menutup pintu.
Suami Dinda sepertinya mulai kesal dan cemburu, dan menghampiri kami berdua yang dari tadi bercerita tanpa banyak kata, dan hanya saling bertatapan mata penuh cinta. Akhirnya kuingat lirik lagu dewa yang berkata bahwa "cintaku tak harusss, miliki dirimu!!!!".
Merekapun pergi dan menghilang di balik sinar merah mentari yang akan meninggi karena hari sudah pagi.
Layaknya sang gila, aku hanya bernyanyi dari pagi hingga senja. Menyanyikan lagu-lagu galau yang ku tahu, demi mengusir semua rasa rindu pada Dinda padahal baru pagi lalu bertemu.
Plaakkk!!! Tiba-tiba ada sesuatu yang menimpa kepalaku, sebuah sendal jepit dipukulkan oleh lelaki gila tanpa busana, sambil tertawa diapun berkata " dengar kata om Iwan donggg...... ambil hikmahnya karena kau tak sendiri!!!"
Aku hanya bisa meringis kesakitan sambil menggerutu kesal, karena banyak orang di sekelilingku ikut menertawakanku. Aku yang juga sedang gila karena cinta yang begitu dalam, dan harus kehilangan tanpa kerelaan, Hampa hati yang begitu  terasa karena masih mengharapkan Dinda.
Kuterus bernyanyi bersama senja berkeliling di stasiun kereta, sambil sesekali mengunyah gorengan bakwan dingin karena dari pagi belum laku terjual. Aku maķan dan minum tanpa kubayar karena aku pikir aku sedang gila. Pemilik warung hanya diam saja, karena mereka pikir memang aku sudah benar benar gila.


" Keranda Cinta "
Menanti bukan rindu, menunggu hanya untuk membunuh waktu. Merentangkan kembali harapan menatap masa depan, dengan melangkah pasti walau perlahan.
Vera yang selalu datang mengisi hari-hari sepiku, untuk bernyanyi bersama, bercanda dan tertawa di sebuah gerbong kereta tua. Vera selalu menghiburku dengan tingkah lucu dan menggemaskan khas remaja ibukota.
Kehadiran Vera mulai mengikis ingatanku tentang Dinda, perlahan semua rasa cintaku pada Dinda telah aku masukkan ke dalam keranda dan kelak kusimpan jauh dalam jiwa, hingga aku akan merasa lupa jika kelak aku akan mencarinya.
Waktu terus berlalu, iringi langkahku, dalam suka dalam duka, menangis dan tertawa bersama Vera. Akhirnya ku bulatkan tekad untuk melamar Vera, tak terpikirkan akan kuberi makan apa, karena aku belum kerja dan tidak punya apa-apa, dan satu hal yang pasti kami tidak akan makan batu rel kereta.
Aku menikahi Vera anak semata wayang saudagar kaya pengusaha batubara. Aku sunting Vera dengan mas kawin uang delapan puluh delapan ribu rupiah saja dan sebuah gitar tua.
Walaupun awalnya orang tua Vera takut anaknya akan sengsara karena menikah dengan pemuda drop out kuliah dan tidak bekerja, kini bisa bernapas lega karena aku kini menjadi pengusaha kelapa muda.
Usahaku berkembang pesat walaupun dengan modal awal seadanya, yaitu empat juta rupiah modal pinjam dari mertua. Mobil tiga dengan tipe yang berbeda, delapan puluh kios kelapa muda di seluruh jakarta, tujuh rumah dan sepasang anak kembar bernama Jaka dan Jelita. Kami hidup bahagia tinggal di rumah bagai istana dikelilingi taman taman bunga yang indah penuh warna.
Byuuuuuurrrrr...... " wooii, bangun udah subuh!!!!" Teriak lelaki tua berpeci bersarung warna warni. Aku kaget dan tak habis percaya. Ternyata aku hanya bermimpi, aku tidur tanpa melepas alas kaki di keranda orang mati. Dalam pikirku, ini terjadi pasti karena terlalu lelah tubuh ini hingga berhalusinasi tingkat tinggi.
Aku bangun perlahan karena masih setengah sadar, sembari menertawakan diri sendiri karena tidur di keranda orang mati. Belum jauh aku melangkah untuk pergi, orang tua itu memanggilku dan mengajakku sholat subuh berjamaah dengannya, aku hanya menurut saja.
Diambilnya sarung lusuh dari lemari di sudut belakang mushola, dia lemparkan kepadaku seraya memberi perintah untuk menggunakannya, dan sekali lagi aku hanya menuruti kemauannya, akhirnya kami sholat subuh berjama'ah walaupun hanya berdua saja.
Subuh ini hatiku mengharu biru, karena setelah sekian lama, aku bisa bertemu kembali dengan sang pencipta waktu. Tak percaya tapi ini terjadi, air mata menetes di pipi mengenang semua yang terjadi. Ratapanku semakin menjadi, berharap kebodohanku tidak terulang kembali.
Sementara lelaki tua yang menjadi imam sholatku tadi, duduk bersila di depan mushola sembari menyediakan kopi. Ditegurnya aku lagi dan menyuruhku mandi di MCK pinggir kali, dan dia memintaku untuk kembali lagi.
Selesai mandi aku kembali lagi, ternyata gorengan pisang dan kopi hangat sudah menanti. Tanpa basa basi aku seruput kopi yang nikmat sekali.
Kami saling mengenalkan diri, barulah ku tahu lelaki tua itu bernama Nata dan biasa dipanggil mang Nata. Lelaki bertitel sarjana matematika yang tak beruntung ketika mengadu nasib di Jakarta.
Harapan indahnya tentang hidup bahagia di Jakarta harus hancur lebur juga karena memperjuangkan cinta yang fana. Sempat menjabat sebagai manajer sebuah perusahaan ternama kini hanya menjadi seniman tua tanpa keluarga,karena kekasihnya yang jelita kini sudah tanpa rupa.
Sekian lama kami saling bercerita, sebuah pesan berharga kuterima darinya bahwa hidup haruslah bahagia bagaimanapun kondisinya, dan iringilah setiap langkah dengan rasa syukur pada sang pencipta.
Dengan penuh wibawa Mang Nata pamit karena harus bekerja sebagai tukang lukis di jalan gajah mada. Aku masih terduduk sambil merenungi setiap nasehat yang kuterima dari mang Nata, terutama tentang jelitanya yang sekarang tanpa rupa. Dan aku tak ingin Veraku yang jelita juga tanpa rupa, harus kuperjuangkan dengan segala upaya sembari berserah diri kepada yang maha kuasa.
Kutinggalkan mushola itu dan pergi ke kota tua, kembali menggeluti dunia seraya membuat janji dengan Vera untuk bertemu di tempat biasa.
Malam datang dan jelitaku tiba, begitu anggun memanjakan mata. Tanpa banyak kata Aku sampaikan niatku untuk menikahinya. Aku dan Vera mengatur waktu untuk bertemu dengan orang tuanya, sepakatlah kami untuk bertemu kembali di bulan Juni minggu kedua.
Selama menunggu waktunya tiba, aku terus berusaha dan berdoa memohon kepada sang pencipta raga agar lamaranku diterima. Waktu yang dinanti telah tiba, aku datang ke rumah Vera setelah sholat Isya.
Bermodal cincin emas dua setengah gram hasil tabunganku ditambah sedikit uang pemberian Vera, akan kusampaikan semua niatku kepada orangtua Vera dengan penuh percaya diri karena aku sudah ikhlas dan menyerahkan semuanya kepada Illahi, menerima segala kemungkinan jawaban orangtua Vera nanti.
Berdiri di depan gerbang, kulihat Vera telah menungguku di lantai dua. Dengan mengucap Bismillah aku pencet bel pintu rumah Vera walau agak gemetar juga jari ini, aku terus menatap Vera yang tersenyum bahagia dari lantai dua.
Bel pintu berbunyi, lelaki berambut putih menyambutku dengan hangat, mempersilahkan masuk tanpa menanyakan siapa aku. Dia hanya berkata selamat datang dan dia bilang juga sudah menungguku dari tadi di ruang tamu, akupun baru tahu ternyata orang tua itu adalah calon mertuaku.
Penuh kehangatan Ayah Vera berbicara denganku, yang membuatku teringat almarhum kedua orangtuaku dan membuatku rindu akan kehangatan sebuah keluarga yang telah lama tak pernah aku rasakan seperti malam ini.
Ayah dan Ibu Vera begitu baik menerimaku, bahkan terlontar sebuah kata yang tiada kusangka dari ibunya agar aku menganggap mereka seperti orangtuaku sendiri.
Bahkan belum sempat aku menyampaikan maksudku untuk melamar Vera, mereka sudah menerimaku apa adanya, karena ternyata selama ini Vera telah memberi tahu tentang diriku kepada orangtuanya. Bahkan malam ini aku dipersilahkan menginap di kamar tamu yang telah mereka sediakan, merekapun ternyata telah mengatur waktu pernikahanku dengan Vera.
Mereka memintaku untuk kembali dulu ke Jogja agar aku bisa berjiarah terlebih dahulu ke makam kedua orangtuaku, yang membuatku tambah bahagia ternyata kedua orang tua Vera juga ingin ikut menemani aku ke Jogja. Aku hanya bisa bersýukur bahwa Vera adalah jelita yang nyata bukan jelita yang tanpa rupa.

" Sejarah Masa Depan "
" saya terima nikah dan kawinnya Vera Widiyanti binti Ilham Widiyanto, dengan mas kawin berupa seperangkat alat sholat dibayar tuuuunai!!!. Akhirnya aku ucapkan kata-kata itu di hadapan penghulu, hari yang kutunggu dengan berbagai macam kisah pilu dan penuh lika liku.
Aku menikah dengan Vera, seorang wanita yang tanpa kuduga akan menjadi pendamping hidupku. Berawal dari pertemuan yang tiada kusangka, hanya berniat menolongnya yang akan diperkosa dan akhirnya tanpa rencana kami berdua dalam satu bahtera dan aku yang menjadi nahkodanya.
Memang Tuhanlah Maha Segalanya, yang mengatur kita harus berada di mana dan dengan siapa kita harus menderita juga bahagia. Aku kira Dindalah yang akan menjadi tulang rusukku, tapi ternyata Vera yang menjadi jodohku.
Istriku bukanlah Si Manis yang membaca buku, tetapi Vera si gadis lugu yang setia menungguku di balik bayang-bayang langit merah jambu.
Hanya satu janji dalam hati buat Vera yang setia menanti, kami akan bersama selamanya sampai rambut tak hitam lagi bakan sampai akhir nanti.
Dan satu yang pasti, jodoh bukan hanya harus bersama dengan orang yang dicinta, tapi jodoh adalah orang yang telah dipasangkan untuk kita dari yang maha kuasa.
Saling mencintai tak harus saling memiliki, karena cinta manusia tiada yang hakiki. Cinta akan datang ketika kita bisa saling mengerti dan memahami. Keterpaksaan hanya sebuah alibi bagi insan yang lebih memikirkan kesenangan pribadi, dan tak ada niat untuk mengambil hikmah dari semua peristiwa yang terjadi.
Nestapa adalah alasan hati yang terlalu bertoleransi pada logika, tanpa menyadari hidup bahagia adalah hadiah bagi setiap manusia yang selalu bersyukur dalam setiap hasil usaha.
Kini kami hidup bahagia dan dikarunai dua orang putra, tinggal di rumah sederhana peninggalan orangtuaku di Jogjakarta. Akhir Kisah hidupku akan menjadi sejarah masa depan tentang lika liku kehidupan yang semuanya telah diatur oleh Tuhan.










Comments

Popular posts from this blog

MANCING KONDE

Lambe Turah