SI MANIS YANG MEMBACA BUKU " Jelita Tanpa Rupa "
- Get link
- X
- Other Apps
Subuh ini hatiku mengharu biru, karena setelah sekian lama,aku bisa bertemu kembali dengan sang pencipta waktu. Tak percaya tapi ini terjadi, air mata menetes di pipi mengenang semua yang terjadi. Ratapanku semakin menjadi, berharap kebodohanku tidak terulang kembali.
Sementara lelaki tua yang menjadi imam sholatku tadi, duduk bersila di depan mushola sembari menyediakan kopi. Ditegurnya aku lagi dan menyuruhku mandi di MCK pinggir kali, dan dia memintaku untuk kembali lagi.
Selesai mandi aku kembali lagi, ternyata gorengan pisang dan kopi hangat sudah menanti. Tanpa basa basi aku seruput kopi yang nikmat sekali.
Kami saling mengenalkan diri, barulah ku tahu lelaki tua itu bernama Nata dan biasa dipanggil mang Nata. Lelaki bertitel sarjana matematika yang tak beruntung ketika mengadu nasib di Jakarta.
Harapan indahnya tentang hidup bahagia di Jakarta harus hancur lebur juga karena memperjuangkan cinta yang fana. Sempat menjabat sebagai manajer sebuah perusahaan ternama kini hanya menjadi seniman tua tanpa keluarga,karena kekasihnya yang jelita kini sudah tanpa rupa. Sekian lama kami saling bercerita, sebuah pesan berharga kuterima darinya bahwa hidup haruslah bahagia bagaimanapun kondisinya, dan iringilah setiap langkah dengan rasa syukur pada sang pencipta.
Dengan penuh wibawa Mang Nata pamit karena harus bekerja sebagai tukang lukis di jalan gajah mada. Aku masih terduduk sambil merenungi setiap nasehat yang kuterima dari mang Nata, terutama tentang jelitanya yang sekarang tanpa rupa. Dan aku tak ingin Veraku yang jelita juga tanpa rupa, harus kuperjuangkan dengan segala upaya sembari berserah diri kepada yang maha kuasa.
Kutinggalkan mushola itu dan pergi ke kota tua, kembali menggeluti dunia seraya membuat janji dengan Vera untuk bertemu di tempat biasa.
Malam datang dan jelitaku tiba, begitu anggun memanjakan mata. Tanpa banyak kata Aku sampaikan niatku untuk menikahinya.
Aku dan Vera mengatur waktu untuk bertemu dengan orang tuanya, sepakatlah kami untuk bertemu kembali di bulan Juni minggu kedua.
Selama menunggu waktunya tiba, aku terus berusaha dan berdoa memohon kepada sang pencipta raga agar lamaranku diterima.
Waktu yang dinanti telah tiba, aku datang ke rumah Vera setelah sholat Isya. Bermodal cincin emas dua setengah gram hasil tabunganku ditambah sedikit uang pemberian Vera, akan kusampaikan semua niatku kepada orangtua Vera dengan penuh percaya diri karena aku sudah ikhlas dan menyerahkan semuanya kepada Illahi, menerima segala kemungkinan jawaban orangtua Vera nanti.
Berdiri di depan gerbang, kulihat Vera telah menungguku di lantai dua. Dengan mengucap Bismillah aku pencet bel pintu rumah Vera walau agak gemetar juga jari ini, aku terus menatap Vera yang tersenyum bahagia dari lantai dua.
Bel pintu berbunyi, lelaki berambut putih menyambutku dengan hangat, mempersilahkan masuk tanpa menanyakan siapa aku. Dia hanya berkata selamat datang dan dia bilang juga sudah menungguku dari tadi di ruang tamu, akupun baru tahu ternyata orang tua itu adalah calon mertuaku.
Penuh kehangatan Ayah Vera berbicara denganku, yang membuatku teringat almarhum kedua orangtuaku dan membuatku rindu akan kehangatan sebuah keluarga yang telah lama tak pernah aku rasakan seperti malam ini.
Ayah dan Ibu Vera begitu baik menerimaku, bahkan terlontar sebuah kata yang tiada kusangka dari ibunya agar aku menganggap mereka seperti orangtuaku sendiri. Bahkan belum sempat aku menyampaikan maksudku untuk melamar Vera, mereka sudah menerimaku apa adanya, karena ternyata selama ini Vera telah memberi tahu tentang diriku kepada orangtuanya. Bahkan malam ini aku dipersilahkan menginap di kamar tamu yang telah mereka sediakan, merekapun ternyata telah mengatur waktu pernikahanku dengan Vera. Mereka memintaku untuk kembali dulu ke Jogja agar aku bisa berjiarah terlebih dahulu ke makam kedua orangtuaku, yang membuatku tambah bahagia ternyata kedua orang tua Vera juga ingin ikut menemani aku ke Jogja.
Aku hanya bisa bersýukur bahwa Vera adalah jelita yang nyata bukan jelita yang tanpa rupa.
- Get link
- X
- Other Apps
Comments
Popular posts from this blog
MANCING KONDE
A :Mau kemana lu bro malem malem gini? B :mau mancing" gw ( padahal tidak bawa pancingan ) A : aaahhh mau "mancing konde" ajaa!!! Itulah sedikit ilustrasi percakapan tentang istilah " mancing konde" Ya mancing konde bukan mancing cadar. Mancing konde adalah sebuah istilah bagi laki laki hidung belang yang suka main perempuan Mancing sama dengan kencan dan konde sama dengan perempuan. Tapi kenapa tidak ada istilah mancing cadar?. Dari penggunaan istilah ini jelas mana yang lebih mulia antara konde dan cadar, bisa di analogikan bahwa wanita bercadar lebih terhormat daripada wanita berkonde.karena memang konde adalah sebuah adat ciptaan manusia, sementara cadar adalah bagian syariat agama yang dicipta oleh Tuhan yang maha kuasa.
ayo segera bergabung dengan kami hanya dengan minimal deposit 20.000
ReplyDeletedapatkan bonus rollingan dana refferal ditunggu apa lagi
segera bergabung dengan kami di i*o*n*n*q*q