SI MANIS YANG MEMBACA BUKU "tragedi demonstrasi"

 Pemuda pemudi Indonesia sedang tergugah hati, karena kondisi bumi pertiwi. PHK banyak terjadi, harga-harga melambung tinggi karena negara dilanda krisis ekonomi buah dari para pemimpin negeri yang mementingkan diri sendiri, hidup foya-foya dan budaya korupsi demi melampiaskan nafsu duniawi.
 Kami para mahasiswa terus bergerak serentak, langkah kaki berderap menghentak seiring dengan hati yang berontak demi kehidupan rakyat agar lebih layak.
 Semburan air dari mobil water canon menerpa tubuh kami, letusan gas air mata tak bisa menghalangi, pukulan tongkat polisi tak menghilangkan semangat juang kami. Perbaikan ekonomi menjadi fokus tuntutan kami, meski hilang nyawa kami tak peduli. 
 Langit Jakarta menjadi kelam, sekujur tubuh biru lebam namun semangat juang tak kunjung padam. Hari itu menjadi sejarah kelam, karena di antara kami banyak hilang tiada kabar.
 Tiga hari  semua kekacauan itu berlalu, aku dan beberapa rekan mahasiswa terbelenggu, terkurung dalam ruang sempit bercat abu-abu. Kami ditahan karena dianggap telah mengganggu keamanan dan ketertiban, semuanya hanya alasan sang pecundang yang takut kehilangan jabatan.
 Minggu jam dua belas malam kami dilepaskan setelah seminggu tertahan tanpa adanya pembelaan, aku kini sendirian di jalanan.
 Aku teringat Edo dan ku langkahkan kaki menuju rumahnya, aku menyusuri jalanan Jakarta yang tak pernah sepi.
 Tiba di rumah Edo langsung pintunya ku ketuk dengan perlahan, karena ku sadar ini sudah lewat tengah malam yang bisa saja membuat orang lain salah paham. Tak lama berselang pintu rumahpun terbuka, ku lihat seorang lelaki tua berkacamata dengan wajah penuh tanya memandang diriku dari atas ke bawah.
 Setelah beberapa saat kami berdua saling diam tanpa kata, akupun memperkenalkan diri kepadanya bahwa aku adalah teman Edo sewaktu sekolah dulu. Akupun dipersilahkan masuk ke dalam rumah oleh lelaki tua itu yang ternyata ayahnya Edo.
 Akupun mempertanyakan keberadaan Edo, seketika itu aku lihat mata ayah Edo berkaca kaca, bibirnya gemetar berbicara dengan nada berat dan nafas tersenggal seraya bercerita bahwa Edo menjadi salah satu korban tragedi demonstrasi. Edo meninggal terkena peluru, aku hanya membisu, lidahku kelu, nafas ini sesak bagai dada ini tertimpa batu.
 Aku meminta ijin kepada ayah Edo untuk masuk ke kamar Edo, di dalam kamar aku duduk di ranjang yang sudah tidak ada kasurnya. Kupandangi satu persatu pigura yang terpajang di dinding sambil ku ingat lagi semua kenangan indahku bersama Edo.
 Dengan air mata yang perlahan turun ke pipi, pandangan mataku tertuju pada sebuah pigura yang terpajang di sudut meja belajar. Ku lihat foto Edo bersama seseorang yang sepertinya ku kenal, di bawah foto tertulis namaku yang di tulis dengan tinta berwarna merah.
 Aku pandangi gambar foto itu dengan tangan gemetar dan hati berdebar, di belakang bingkai tertulis sebuah kalimat yang tak dapat ku percaya "ku jaga dia demi sobat karibku!!!" dengan sebuah nomor telepon di bawahnya.
 Ku rebahkan tubuh ini di peraduan almarhum sahabatku, ku pejamkam mata ini mencoba tuk mengenangkan semua kenangan indah tentang sahabatku, tentang mimpi-mimpi dan harapan masa depan kehidupan yang harus kandas karena peluru panas petugas yang ganas.

Comments

Popular posts from this blog

MANCING KONDE

Lambe Turah