SI MANIS YANG MEMBACA BUKU "kehilangan"

 Ku pejamkan mata ini, mencoba untuk mengingat kembali segala kenangan indah bersama Edo. Segala tentang mimpi dan cita-citanya yang pernah diceritakan kepadaku. Ingatan tentang Edo begitu jelas menghantui kepalaku, tak bisa hilang dan pasti tak pernah bisa terlupakan. 
 Ku genggam erat gambar dirinya dan berharap ia bisa kembali di dunia ini. Aku rasa kehilangan yang begitu besar karena Edo adalah sahabatku yang paling pengertian.
 Kini seorang sahabat sejati telah pergi, kemana akan ku cari pelipur lara hati ini, tiada terganti dia yang telah gugur. Khayalanku semakin dalam hingga membawa terlelap, cerita tentang Edo menjadi dongeng yang indah sebagai pengantar tidurku malam ini.
 Tabuh berbunyi hempaskan malam sunyi, berkumandanglah suara azan di langit kota Jakarta. Aku melangkah ke mushola kecil di sebelah rumah Edo untuk sholat subuh, ku bangun keikhlasan dalam hati dari hilangnya kawan sejati. Panjatkan doa kepada yang Maha Kuasa mohon agar Edo di tempatkan surga.
 Ketika mentari meninggi hari aku pamit untuk kembali ke Jogyakarta, aku pamit ke ayah Edo yang sedang menyiram mawar di depan rumah, sekaligus aku mohon ijin agar diperbolehkan membawa foto Edo bersama seorang wanita yang di bawahnya tertulis namaku serta di belakangnya terdapat nomor telepon. Ayah Edo mengijinkan aku membawanya, langsung saja foto itu kusimpan dalam tas kecilku.
 Aku menuju ke stasiun kereta Pasar Senen untuk naik kereta menuju Yogjakarta, di dalam kereta ku buka kembali tas kecil dan kulihat dalam-dalam foto yang kubawa, menerawang jauh melayang penuh tanya dan menduga sebuah cerita foto itu. Dalam hati bertanya "bagaimana bisa Edo foto berdua dengan Dinda?". Ya Dinda, gadis yang selama ini aku dambakan dan aku impikan. Dan apa maksud dari tulisan namaku di foto itu serta nomor telepon siapa yang tertulis pada foto?.
 Aku simpan kembali foto itu ke dalam tasku, tatapan ku kosong dipenuhi lamunan dan pertanyaan tentang sang gadis idaman.
 Bising suara mesin kereta yang menderu, decitan roda kereta, serta riuhnya para pedagang yang menjajakan dagangannya menjadi alunan nada pengantar tidurku dalam kereta. Sesekali ku terbangun karena guncangan yang membenturkan kepalaku ke jendela, sambil kupastikan tasku masih ada dalam dekapanku khawatir ada tangan-tangan panjang yang memang suka berkeliaran dalam kereta mencari mangsa.
 Sesekali pengemis dan pengamen membangunkan dengan paksa, agar aku memberikan sedikit uang yang aku punya. Tidak kuhiraukan mereka semua karena memang uangku sendiri hanya cukup untuk makan esok hari dan ongkos naik becak.
 Kereta berhenti di stasiun Lempuyangan, sebuah stasiun kecil yang tidak begitu ramai, Aku turun dengan langkah gontai karena menahan rasa lapar semalaman. Aku arahkan langkah kakiku menuju rumah makan sederhana agar aku bisa menenangkan lambungku yang terus berontak seolah berteriak agar segera diisi. Lahap kumakan nasi dan orek tempe, nikmat air teh hangat menghapus lapar dan dahagaku. Selesai makan, kupanggil seorang kakek tua berbaju kuning bergambar pohon beringin untuk mengantarkanku kembali ke rumah dengan becak karatannya.

Comments

Popular posts from this blog

MANCING KONDE

Lambe Turah