SI MANIS YANG MEMBACA BUKU " kado istimewa "

 Jakarta 24 November 1998, aku menginjakkan kakiku kembali di ibukota. Bukan untuk berdemo ataupun berunjuk rasa, tetapi aku kembali ke Jakarta demi memperjuangkan cinta yang lama terpendam. Aku rela berjalan dalam nestapa demi cintaku pada Dinda.
 Sebelum aku bertemu Dinda, ku teringat bahwa esok adalah hari guru nasional. Terbesit dalam pikiranku untuk menyiapkan kado istimewa untuk Dinda yang juga seorang guru sekaligus untuk merayakan pertemuan dengan sang dambaan hati.
 Tak sabar hati ini menunggu waktu yang seolah olah beģitu lamban, tak tahan lagi gejolak jiwa ingin bertemu dengan sang surya. Nyata sang purnama tak mau mengalah seakan tak ingin diganti oleh matahari. Jantung berdegub kencang, matapun sulit terpejam karena pikiran melayang membayangkan pertemuan dengan orang yang kusayang.
 Lamunanku terjaga oleh lantangnya sang muadzin yang mengumandangkan adzan subuh. Segera ku ambil wudhu dan melaksanakan sholat subuh, dalam doa kusebut nama Dinda. Matahari mulai tampak di ujung timur kota Jakarta, kubergegas meraih jaket dan tas ku. Lorong gang sempit ini terasa begitu panjang dan seakan tak ada ujungnya. Entah memang nyata atau hanya perasaanku saja yang sudah tak mau lagi menunggu. Akhirnya sampai juga aku di ujung gang, langsung saja ku arahkan langkah kakiku menuju sebuah telepon umum dan ku telepon Dinda bahwa aku akan menemuinya hari ini di sekolahnya. Dinda menjawab teleponku, dan ketika kembali ku mendengar suaranya, tenang hati ini dan seketika saja merasa segar dan perut ini telah kenyang padahal aku belum sarapan.
 Rasa cintaku pada Dinda memang telah membuatku gila dan lupa, atau memang karena ini adalah cinta pertama. 
 Dinda memintaku untuk menemuinya ketika jam istirahat sekolah, di sebuah halte bus yang letak ada di depan sekolah tempatnya mengajar , aku mengiyakan permintaannya. Sebelum ku tutup teleponku tak lupa aku mengucapkan selamat hari guru kepadanya dan ia hanya membalasnya dengan jawaban terimakasih dengan nada yang datar.
 Sebelum aku menuju terminal bis, kusempatkan untuk mampir dulu ke toko bunga yang letak tidak jauh dari telepon umum. Ku beli seikat bunga lavender berwarna ungu, karena ku pikir memberi bunga mawar pada seorang wanita sudah biasa, aku hanya ingin mencoba berbeda dari biasanya.
 Dengan napas menderu, kulangkahkan kakiku dengan cepat setengah berlari agar aku cepat sampai ke terminal bis yang jaraknya sekitar 200 meter dari toko bunga.
 Sesekali ku lihat jam tanganku, aku tak ingin Dinda sampai menunggu karena keterlambatanku. Ku tambah kecepatan jalanku hingga akhirnya sampailah aku di terminal bis Senen, langsung saja ku cari metromini tujuan tanjung priok, karena Dinda mengajar di sebuah sekolah di Tanjung priok.
 Aku duduk di samping sopir, karena tak ingin halte sekolah yang kutuju terlewati olehku. Bis belum jalan karena menunggu terisi penuh oleh penumpang terlebih dahulu, suara serak kondektur terdengar lantang memanggil calon penumpang, dan deru mesin serta pengapnya udara di dalam bis menjadi penghias perjalananku hari ini.
 Kulihat jam tanganku serasa begitu cepat seakan tak ingin menunggu, lagi-lagi apakah ini nyata ataukah hanya perasaanku yang sedang dilanda rindu.

Comments

Popular posts from this blog

MANCING KONDE

Lambe Turah