SI MANIS YANG MEMBACA BUKU " perkenalan "

Musik terhenti dan sang biduanpun berhenti bernyanyi, tiada lagi ku dengar kebisingan alunan melodi, yang kudengar hanya detak jantungku yang memburu karena gerak pogo yang terlalu ditambah rasa penasaran untuk bisa berkenalan pada dia perempuan manis di bawah pohon jambu. 
Dengan memantapkan niat hati, dirinya ku hampiri, panggilan Edo tak ku peduli hanya dia yang terpenting saat ini. Sedikit basa basi aku perkenalkan diriku dan ku tanya namanya, ternyata si manis ini bernama Dinda. Ooooooooh!! Betapa lembut suaranya ketika dia menyebut namanya, bagaikan alunan senandung dari surgawi. 
Dinda ternyata bukan salah satu siswi di sekolahku, Dinda adalah  anak pertama dari ibu Sari yang berjualan di kantin sekolahku. Aku hanya tertegun dan melamun indah mendengarkan lembut suara dan manis senyumannya, seakan mengusap kepalaku manja dan membawaku bermimpi. 
Dinda sudah kuliah di salah satu universitas negeri ternama di Jakarta jurusan Bimbingan Konseling semester kedua. Agak sedikit minder dan malu karena ternyata Dinda lebih tua dariku, namun kupikir ini bukan soal usia, bukan soal siapa lebih muda dan siapa yang lebih tua, namun ini semua tentang cinta.
Hilang rasa penasaran dalam dada namun tumbuh rasa cinta yang begitu besar dalam jiwa, langsung saja kunyatakan bahwa ku telah jatuh cinta padanya semenjak awal berjumpa dengannya di perpustakaan sekolah. Dinda diam tanpa berkata atau mungkin tak percaya bertemu aku yang sedang gila asmara.
Aku tak menyerah,  seraya merajut benang kata menjadi untaian doa agar Tuhan menyatukan cinta kami berdua.
Semenit berlalu bagai seminggu ketika aku menunggu jawaban darinya, dan kulihat Dinda hanya diam membisu tanpa memandangku dan hanya menunduk melihat sepatunya yang bergambar kupu-kupu. 
Ku lapangkan dadaku lebar-lebar dan memperluas rasa sabar hingga sampai nanti jawaban darinya ku dengar, walaupun mungkin jawabannya membuat jantungku berhenti berdebar. 
Tiba-tiba suara guntur menggelegar dan petirpun saling menyambar. Para siswapun bubar tak beraturan, karena masing-masing mencari perlindungan dari derasnya hujan. sebentar saja aku lengah, Dinda sudah menghilang tiada lagi duduk di sampingku.
Aku masih belum beranjak dari dudukku walau hujan telah membasahi tubuhku, hati dan pikiran ini masih bingung dan jiwa ini merasa terpasung. Tak tahu kapan bisa berjumpa lagi, dan entah sampai kapan ku menanti sebuah jawaban yang kuharapkan.

Comments

Popular posts from this blog

MANCING KONDE

Lambe Turah